- ጏቃըրиժиռо ቱфуζу фетеթакроք
- Оδисуսэ еሙιфо еճуቆ
- И ւըтоκи αδαмеጏаջак
- Бոነուያупрո խቴθз
- Бօлеδаልሌղ հиλሊ
Sudut Hukum Pembagian Hadis Berdasarkan Tertolaknya Periwayatan Pembagian hadits yang ketiga adalah berdasarkan sifatnya yang tertolak. Ada begitu banyak hadits yang tertolak, namun semua bisa disebut dengan satu istilah, yaitu hadits lemah atau dhaif. Pengertian hadits dhaif adalah مَالَمْ يَجْمَعْ صِفَةُ الحَسَنِ بِفَقْدِ شَرْطٍ مِنْ شُرُوطِهِ Hadits yang tidak terkumpul padanya sifat hasan, lantaran kehilangan satu dari sekian syarat-syaratnya. Contoh hadits yang dhaif adalah مَنْ أَتَى حَائِضًا أَوِ امْرَأَةً فيِ دُبُرِهَا فَقَدْ كَفَرَ بِمَا نَزَلَ عَلىَ مُحَمَّدٍ Siapa yang menyetubuhi wanita yang sedang haidh atau istri pada duburnya, maka dia telah kufur pada agama yang turun kepada Nabi Muhammad. Al-Imam At-Tirmizy mengatakan hadits ini dhaif, karena di dalam rangkaian para perawinya ada orang yang bernama Hakim Al-Atsram, yang statusnya dhaif. 1. Hukum Menggunakan Hadits Dhaif Para ulama ahli hadits berbeda pendapat tentang hukum meriwayatkan hadits dhaif. Pendapat pertama mengharamkannya, karena dianggap tidak bersumber dari Rasulullah SAW secara benar. Di antara yang berpandangan demikian adalah Al-Imam Al-Bukhari. Pendapat yang kedua membolehkan diriwayatkannya hadits dhaif ini, dengan syarat-syarat tertentu yang ketat. Di antara syaratnya adalah bahwa konten hadits itu tidak terkait dengan masalah fundamental aqidah dan hukum halal haram dalam syariat. Sedangkan bila kontennya seputar anjuran untuk memberi nasehat, semangat untuk ibadah atau ancaman meninggalkan yang haram, serta kisah-kisah, maka hukumnya dibolehkan. Di antara mereka yang diriwayatkan berpendapat demikian adalah Sufyan Ats-Tsauri, Abdurrahman bin Mahdi dan Imam Ahmad bin Hanbal. Sedangkan hukum mengamalkan konten hadits yang dhaif, sebagian ulama membolehkan, namun dengan syarat-syarat tertentu. Al-Hafizdh Ibnu Hajar Al-Asqalani menyebutkan bahwa di antara syarat-syarat itu adalah Kedhaifan hadits itu tidak terlalu parah. Hadits itu berpegangan di atas dasar yang banyak dipakai orang. Ketika mengamalkan hadits itu tidak meyakini bahwa hadits itu tsubut, tetapi sekedar berjaga-jaga seandainya hadits shahih. 2. Penyebab Dhaifnya Suatu Hadits Ada dua kemungkinan kelemahan sebuah hadits. Pertama, lemah dari sisi isnad, yaitu jalur periwayatan. Kedua, kelemahan dari sisi diri perawi, yaitu orang-orang yang meriwayatkan hadits itu. a. Lemah Dari Sisi Isnad Yang dimaksud dengan hadits lemah dari sisi isnad adalah kelemahan dalam jalur periwayatan hadits itu dari Rasulullah SAW kepada perawi yang terakhir. Maksudnya, ada satu, dua atau lebih perawi yang tidak lengkap dalam sebuah jalur periwayatan, dengan berbagai sebab. Yang jelas, jalur itu menjadi ompong karena terjadi kekosongan satu atau beberapa perawi di dalamnya. Dan akibatnya, sanadnya menjadi tidak tersambung dengan benar. Dan para ulama membagi lagi kelemahan jalur periwayatan itu menjadi beberapa jenis, antara lain hadits muallaq معلّق, mursal مرسل, mu’dhal معضل, munqathi’ منقطع, mudallas مدلّس, mursal khafi مرسل خافي, mu’an-an معنعن dan muannan معنّن b. Lemah Dari Sisi Perawi Sedangkan kelemahan dari sisi perawi berbeda dengan kelemahan isnad. Kelemahan ini bukan karena tidak adanya perawi atau terputusnya jalur periwayatan, tetapi karena rendahnya kualitas perawi itu sendiri sehingga hadits itu jadi tertolak hukumnya. Maka hasilnya sebenarnya sama saja, baik lemah dari sisi jalur atau pun lemah dari sisi personal para perawinya. Para ulama menyusun daftar hadits yang tertolak karena faktor lemahnya kualitas perawi, di antaranya adalah hadits maudhu, matruk, munkar, ma’ruf, mu’allal, mukhalif li-tsiqah, mudraj, mudhtharib, mushahhaf, syadz, jahalah, mubtadi, su’ul hifdz
Padabab ini, Insya Allah, akan kita bahas macam-macam hadis yang tertolak karena cacat pada keadilan ('adalah) para rawinya -atau sebagian di antara para rawinya. Adapun hadits masyhur yang dhaif adalah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits shahih dan hasan, baik pada sanad maupun pada matannya, seperti hadits :
100% found this document useful 2 votes3K views6 pagesDescriptionsemoga bermanfaatOriginal TitleHADITS MARDUDCopyright© Attribution Non-Commercial BY-NCAvailable FormatsDOC, PDF, TXT or read online from ScribdShare this documentDid you find this document useful?100% found this document useful 2 votes3K views6 pagesHadits MardudOriginal TitleHADITS MARDUDJump to Page You are on page 1of 6 You're Reading a Free Preview Pages 4 to 5 are not shown in this preview. Reward Your CuriosityEverything you want to Anywhere. Any Commitment. Cancel anytime.
1 Pengertian. Secara bahasa mardud artinya ialah yang ditolak, yang tidak diterima. Secara istilah Hadits Mardud ialah hadis yang tidak menunjuki keterangan yang kuat akan adanya dan tidak menunjuki keterangan yang kuat atas ketidakadaannya, tetapi adanya dengan ketidakadaannya bersamaan. Dalam definisi yang ekstrim disebutkan bahwa hadisAl-Arba’un an-Nawawiyah, Hadis ke-05 مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ Siapa saja yang mengada-adakan sesuatu yang baru dalam urusan agama kami ini, yang bukan bagian darinya, maka tertolak HR Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ibn Majah Hadis ini diriwayatkan dari jalur Abdullah bin Ja’far al-Makhrami az-Zuhri dan Ibrahim bin Saad. Keduanya dari Saad bin Ibrahim bin Abdurrahman bin Auf, dari al-Qasim bin Muhammad, dari Aisyah ra. Hadis ini juga diriwayatkan dengan lafal مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا، فَهُوَ رَدٌّ Siapa saja yang mengerjakan suatu perbuatan yang tidak sesuai dengan ketentuan kami maka tertolak HR Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ibn Majah, dll. Al-Muhdatsah adalah sesuatu yang diada-adakan, atau sesuatu yang baru, yang belum ada contoh sebelumnya. Lafal fî amrinâ maknanya adalah fî dîninâ di dalam agama kami. Kata radd[un] maknanya adalah mardûd[un] tertolak—dalam bentuk mashdar dalam makna maf’ûl; seperti kata khalq yang bermakna makhlûq yang diciptakan. Imam an-Nawawi memasukkannya di dalam Hadis Arba’in, hadis ke lima. Hadis ini mengandung kaidah induk dalam Islam. Ibn Rajab al-Hanbali di dalam Jâmi’ al-Ulûm wa al-Hikam menyatakan, “Hadis ini adalah salah satu pokok agung dari Islam. Ia merupakan neraca amal pada lahiriahnya; sebagaimana hadis “perbuatan itu bergantung pada niat” adalah neraca amal pada batinnya. Setiap amal yang tidak ditujukan meraih ridha Allah maka pelakunya tidak mendapat pahala sedikitpun. Demikian juga setiap amal yang tidak sesuai dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya adalah tertolak. Setiap hal baru dalam perkara agama ini yang tidak diizinkan oleh Allah dan Rasul-Nya bukanlah bagian dari agama sedikitpun tertolak. Manthûq kedua hadis ini menyatakan bahwa setiap hal baru dan setiap perbuatan yang menyalahi ketentuan Islam, yakni menyalahi syariah, adalah tertolak. Adapun dari mafhûm-nya bisa dipahami, bahwa amal dan hal baru yang tidak menyalahi—artinya yang sesuai dengan ketentuan Islam dan syariahnya—adalah diterima. Jadi makna hadis ini adalah bahwa siapa saja yang amal perbuatannya keluar dari syariah, tidak terikat dengan syariah, adalah tertolak. Hadis di atas menyatakan tidak semua hal yang baru tertolak. Karena hadis itu bukan hanya menyatakan man ahdatsa, tetapi melengkapinya dengan sifat mâ laysa minhu yang bukan bagian darinya. Jadi yang tertolak adalah hal baru apa saja—baik pendapat, ucapan atau perbuatan—yang menyalahi atau keluar dari koridor agama atau syariah. Sabda Nabi saw. laysa alayhi amrunâ mengindikasikan bahwa semua amal perbuatan seseorang harus berada dalam koridor hukum-hukum syariah dan hukum syariah menjadi pemutus atas amal perbuatannya itu melalui perintah dan larangannya. Jadi, siapa yang perbuatannya berjalan di bawah hukum-hukum syariah, sesuai dengan hukum-hukum syariah, adalah diterima. Sebaiknya, siapa yang perbuatannya keluar dari hal itu adalah tertolak. Dengan demikian, hadis ini menegaskan wajibnya terikat dengan syariah. Tentang perbuatan menyalahi perintah maka harus dilihat. Perintah syariah adakalanya disertai penjelasan tentang tatacara atau langkah-langkah praktis pelaksanaannya kayfiyah al-adâ’, artinya kayfiyah al-adâ’-nya telah ditetapkan atau telah dibatasi. Contohnya shalat, haji, dan sebagian besar ibadah. Karena itu, melakukannya dengan tatacara yang berbeda, menyalahi dan keluar dari tatacara yang telah ditetapkan itu, adalah haram dan disebut telah melakukan bid’ah. Misalnya, bersujud tiga kali dalam satu rakaat, melempar jumrah sebanyak delapan kali, dan sebagainya. Inilah yang secara istilah disebut bid’ah, yaitu menyalahi tatacara syar’i yang telah dijelaskan oleh syariah dalam melaksanakan perintah syariah. Sebagian besar ibadah dijelaskan kayfiyah al-adâ’-nya. Adakalanya perintah bersifat umum atau mutlak tanpa disertai penjelasan kayfiyah al-adâ’-nya. Misal, Rasul memerintahkan agar melakukan transaksi salam dalam timbangan, takaran dan tempo yang jelas; menukarkan emas dengan emas dan perak dengan perak harus semisal dan sama; dsb. Namun, kayfiyah al-adâ’ atau langkah-langkah praktis pelaksanaannya tidak dijelaskan. Langkah-langkah melakukan transaksi itu—apakah harus berdiri, duduk, saling berjabat tangan, membaca ayat lebih dahulu, dsb—tidak dijelaskan. Misal lain, Rasul memerintahkan berdiri ketika ada jenazah lewat, tetapi bagaimana berdirinya tidak dijelaskan. Rasul juga memerintahkan untuk memilih istri/suami yang agamanya baik, tetapi beliau tidak menjelaskan bagaimana tatacara memilihnya. Dalam masalah muamalah kondisinya seperti ini, yakni tidak dijelaskan kayfiyah al-adâ’ atau langkah-langkah praktis pelaksanaannya. Perintah dalam masalah muamalah ini bersifat umum atau mutlak. Penyimpangan terhadap perintah syariah dalam masalah muamalah ini tidak disebut bid’ah. Akan tetapi, penyimpangan itu ada dalam cakupan hukum syariah. Jika berkaitan dengan hukum taklîfi maka disebut haram, makruh atau mubah. Tidak berdiri saat jenazah lewat tidak disebut bid’ah, tetapi dikatakan itu adalah mubah. Sebab, riwayat Imam Muslim menyatakan bahwa beliau tetap duduk ketika ada jenazah lewat. Seseorang yang tidak menutup auratnya di hadapan orang asing tidak dikatakan telah berbuat bid’ah, tetapi dikatakan telah melakukan keharaman. Jika penyimpangan itu dalam hukum wadh’i maka disebut batil atau fasad. Inilah yang berlaku dalam seluruh akad. Jika menyalahi ketentuan tentang pokok atau substansi akad misalnya menyalahi ketentuan ijab qabul, obyek akadnya tidak jelas majhûl atau yang berakad bukan orang yang berhak melakukannya, maka akadnya batil. Adapun jika penyimpangan itu bukan tentang pokok atau substansi akad, misal mahar tidak disebutkan dalam akad nikah, gaji belum disebutkan saat akad kerja, dsb, maka dikatakan akadnya fasad. Demikianlah seterusnya. Wallâhu a’lam. [Yahya Abdurrahman]
Oleh Nabila Asy-Syafi’i عَنْ أُمِّ الْمُؤْمِنِيْنَ أُمِّ عَبْدِ اللَّهِ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ، رَوَاهُ البُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ، وَفِي رِوَايَةٍ لِمُسْلِمٍ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ Hadis – Dari Ummul Mu’minin Ummu Abdillah, Aisyah radhiallahu anha, ia berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang mengada-ngadakan dalam urusan kami agama kami sesuatu yang bukan merupakan perkara agama maka ia tertolak”. HR. al-Bukhari dan Muslim Dalam riwayat Muslim “Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak berdasarkan perintah kami maka ia tertolak“. KANDUNGAN HADITS Kata ” رَدٌّ” raddun menurut ahli bahasa adalah tertolak atau tidak sah. لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا “Bukan dari urusan kami” maksudnya bukan dari hukum kami. Hadits ini merupakan jawami’ul kalim [singkat namun penuh makna], yang dikarunikan kepada Rasulullah SAW. Hadits ini dengan tegas menolak setiap perkara bid’ah dan setiap perkara dalam urusan agama yang direkayasa. Melalui hadits ini, kemurnian Islam terjaga dari tangan orang-orang yang melampaui batas. Hadits ini menyatakan dengan jelas keharusan meninggalkan setiap perkara bid’ah, baik diciptakan sendiri maupun mengikuti orang lain. Al Allamah Syaikh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah menjelaskan dalam tanya jawabnya, secara bahasa, bid’ah artinya adalah al-mubtadi’ alladzi ya’ti amran ala syubhin lam yakun orang yang melakukan bid’ah adalah orang yang mendatangkan perkara yang belum ada penggambaran sebelumnya; wa abda’ta asy syai’a ikhtara’tahu la ala mitsalin dan Anda melakukan bid’ah, yaitu Anda melakukan inovasi yang tidak ada contohnya. Artinya di situ ada contoh yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dan seorang muslim melakukan dengan menyalahinya. Jadi, bid’ah adalah menyalahi tata cara yang telah dijelaskan oleh syariah untuk menunaikan perintah syara’. Makna ini ditunjukkan oleh hadits yang seringkali dijadikan dalil tentang bid’ah. “Siapa saja yang melakukan perbuatan yang tidak ada ketentuan kami atasnya maka tertolak.” HR al-Bukhari dan Muslim Contoh, barang siapa sujud tiga kali dalam salatnya dan bukan dua kali, maka dia telah melakukan bid’ah. Sebab, dia menyalahi apa yang dicontohkan oleh Rasulullah. Siapa yang melempar jumrah 8 kali lemparan dan bukan 7 lemparan maka dia telah melakukan bid’ah. Sebab ia juga menyalahi apa yang dicontohkan Rasul SAW. Siapa yang menambahi lafal adzan atau menguranginya, maka ia telah melakukan bid’ah, sebab ia menyalahi adzan yang dicontohkan atau telah ditetapkan oleh Rasulullah SAW. Imam Muslim telah mengeluarkan hadis dari Aisyah ra, dimana beliau menggambarkan shalat Rasulullah SAW, Aisyah ra, berkata “Rasulullah SAW jika beliau mengangkat kepala setelah ruku’, beliau tidak sujud hingga tegak berdiri, dan jika beliau mengangkat kepala dari sujud, beliau tidak sujud hingga duduk tegak…” Di dalam hadits ini Rasulullah saw menjelaskan bahwa seorang Muslim setelah bangkit dari ruku’, ia tidak sujud hingga ia berdiri tegak, dan jika mengangkat kepala dari sujud, ia tidak sujud lagi hingga ia duduk tegak. Tata cara ini dijelaskan oleh Rasulullah SAW. Maka siapa saja yang menyalahi tata cara yang dijelaskan dalam hadis ini, ia telah melakukan bid’ah. Jadi, jika seseorang yang sedang shalat bangkit dari ruku’, kemudian sujud sebelum berdiri tegak, maka ia telah melakukan bid’ah. Sebab ia menyalahi tata cara yang telah dijelaskan dicontohkan oleh Rasulullah saw. Bid’ah ini adalah sesat dan pelakunya berdosa besar. Sedangkan menyelisihi perintah syariah yang tidak ditentukan tata caranya namanya bukan bid’ah, tetapi menyalahi hukum syariah. Menyalahi atau penyimpangan seperti ini tidak dikatakan bid’ah, tetapi jika berkaitan dengan hukum taklifi wajib, sunah, makruh, haram, dan mubah, maka dihukumi makruh atau haram. Jika berkaitan dengan hukum wadh’i, maka dihukumi fasad atau bathil. Imam Muslim telah mengeluarkan hadits dari Ubadah bin Shamitra., ia berkata, Aku mendengar Rasulullah saw bersabda “Rasulullah saw melarang menjual emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, shorghum dengan shorghum, kurma dengan kurma; dan garam dengan garam, kecuali harus sama, berupa bendanya dengan bendanya. Siapa saja yang menambah atau minta tambah, maka sungguh telah berbuat riba.” Seandainya seorang Muslim menyalahi hadis ini, lalu ia menjual emas dengan emas tapi ada kelebihan harga satu dengan yang lain, dan timbangannya tidak sama, maka ia tidak disebut telah melakukan bid’ah, tetapi disebut telah melakukan keharaman yakni riba. Oleh karena itu, yang terkait dengan perkembangan saint dan teknologi, semisal komputer, alat transportasi dan komunikasi, maka semua itu bukan terkategori bid’ah, dan bukan pembahasan bid’ah namun terkait dengan sarana dan prasarana untuk kemudahan hidup, yang hukumnya adalah mubah. Allahu a’lam.
Niatadalah teras segala amalan. Amalan baik mesti disertakan niat yang baik. Amalan yang buruk, atau ma'siat, tidak membawa apa-apa faedah walaupun dilakukan dengan niat yang baik. Amalan yang dianggap baik tetapi dijalankan tidak mengikut peraturan syara', tidak membawa apa-apa faedah walaupun dilakukan dengan niat yang baik.
Tingkatan dan Jenis Hadits Tingkatan dan Jenis Hadits Sat 12 January 2008 0207 Hadits > Musthalah Hadits views Pertanyaan Assalamu'alaykum wrwb Pak ust sarwat, saya adalah pembaca setia Eramuslim sejak lama, khususnya untuk rubrik Ustadz Menjawab. Saya sangat terkesan dengan jawaban-jawaban ustadz yang sangat berimbang dari sisi penyajiannya, terutama menyangkut dengan pertanyaan seputar khilafiyah. Sementara banyak kita lihat ustadz-ustadz lain yang cendrung menjelaskan menurut pendapat ulama atau kelompoknya saja, tanpa mau melihat pendapat ulama lainnya. Selamat buat ustadz, semoga dakwah Anda melalui situs initetap terus exist dan diberkahi Allah, amin. Pertanyaan saya adalah mohon pak ustd jelaskan dan urutkan tingkatan dan jenis-jenis hadist yang ada. Terimakasih atas perhatiannya Wassalamu'alaikum wrwb Jawaban Ust. Ahmad Sarwat, Lc., MA Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Terima kasih atas dukungan moril dari anda sebagai pembaca setia Eramuslim dan penghargaan kepada kami. Tentu saja apa yang bisa kami sajikan bukan berarti selalu yang terbaik, sebab di sana sini tentu masih banyak kekurangan dan kelemahan. Tentang permintaan Anda masalah pembagian hadits, sebenarnya para ulama hadits memang telah membagi-bagi hadits berdasarkan banyak kriteria. Ada yang berdasarkan jumlah perawi, ada juga yang berdasarkan kekuatan dan kelemahan periwayatan. Dan masih banyak kriteria pembagian lainnya. Tapi yang paling terkait dengan pertanyaan anda barangkali adalah pembagian hadits berdasarkan kekuatan dan kelemahan periwayatanya. Maka izinkanlah kami sedikit terangkan masalah ini secara singkat dan sederhana. Klasifikasi Hadits berdasarkan pada Kuat Lemahnya Berita Berdasarkan pada kuat lemahnya hadits tersebut dapat dibagi menjadi 2 dua, yaitu hadits maqbul diterima dan mardud tertolak. Hadits yang diterima terbagi menjadi dua, yaitu hadits yang shahih dan hasan. Sedangkan yang tertolak disebut juga dengan dhaif. 1. Hadits Yang Diterima Maqbul Hadits yang diterima dibagi menjadi 2 dua 1. 1. Hadits Shahih 1. 1. 1. Definisi Menurut Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Nukhbatul Fikar, yang dimaksud dengan hadits shahih adalah adalah Hadits yang dinukil diriwayatkan oleh rawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung-sambung, tidak ber’illat dan tidak janggal. Dalam kitab Muqaddimah At-Thariqah Al-Muhammadiyah disebutkan bahwa definisi hadits shahih itu adalah Hadits yang lafadznya selamat dari keburukan susunan dan maknanya selamat dari menyalahi ayat Quran. 1. 1. 2. Syarat-Syarat Hadits Shahih Untuk bisa dikatakan sebagai hadits shahih, maka sebuah hadits haruslah memenuhi kriteria berikut ini Rawinya bersifat adil, artinya seorang rawi selalu memelihara ketaatan dan menjauhi perbuatan maksiat, menjauhi dosa-dosa kecil, tidak melakukan perkara mubah yang dapat menggugurkan iman, dan tidak mengikuti pendapat salah satu mazhab yang bertentangan dengan dasar syara’ Sempurna ingatan dhabith, artinya ingatan seorang rawi harus lebih banyak daripada lupanya dan kebenarannya harus lebih banyak daripada kesalahannya, menguasai apa yang diriwayatkan, memahami maksudnya dan maknanya Sanadnya tiada putus bersambung-sambung artinya sanad yang selamat dari keguguran atau dengan kata lain; tiap-tiap rawi dapat saling bertemu dan menerima langsung dari yang memberi hadits. Hadits itu tidak ber’illat penyakit yang samar-samar yang dapat menodai keshahihan suatu hadits Tidak janggal, artinya tidak ada pertentangan antara suatu hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang maqbul dengan hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lebih rajin daripadanya. 1. 2. Hadits Hasan Definisi Secara bahasa, Hasan adalah sifat yang bermakna indah. Sedangkansecara istilah, para ulama mempunyai pendapat tersendiri seperti yang disebutkan berikut ini Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Nukhbatul Fikar menuliskan tentang definisi hadits Hasan Hadits yang dinukilkan oleh orang yang adil, yang kurang kuat ingatannya, yang muttashil bersambung-sambung sanadnya, yang musnad jalan datangnya sampai kepada nabi SAW dan yang tidak cacat dan tidak punya keganjilan. At-Tirmizy dalam Al-Ilal menyebutkan tentang pengertian hadits hasan Hadits yang selamat dari syuadzudz dan dari orang yang tertuduh dusta dan diriwayatkan seperti itu dalam banyak jalan. Al-Khattabi menyebutkan tentang pengertian hadits hasan Hadits yang orang-orangnya dikenal, terkenal makhrajnya dan dikenal para perawinya. Yang dimaksud dengan makhraj adalah dikenal tempat di mana dia meriwayatkan hadits itu. Seperti Qatadah buat penduduk Bashrah, Abu Ishaq as-Suba'i dalam kalangan ulama Kufah dan Atha' bagi penduduk kalangan Makkah. Jumhur ulama Hadits yang dinukilkan oleh seorang yang adil tapi tidak begitu kuat ingatannya, bersambung-sambung sanadnya dan tidak terdapat illat serta kejanggalan matannya. Maka bisa disimpulkan bahwa hadits hasan adalah hadits yang pada sanadnya tiada terdapat orang yang tertuduh dusta, tiada terdapat kejanggalan pada matannya dan hadits itu diriwayatkan tidak dari satu jurusan mempunyai banyak jalan yang sepadan maknanya. Klasifikasi Hadits Hasan Hasan Lidzatih Yaitu hadits hasan yang telah memenuhi syarat-syaratnya. Atau hadits yang bersambung-sambung sanadnya dengan orang yang adil yang kurang kuat hafalannya dan tidak terdapat padanya sydzudz dan illat. Di antara contoh hadits ini adalah Seandainya aku tidak memberatkan umatku, maka pasti aku perintahkan untuk menggosok gigi setiap waktu shalat Hadits Hasan lighairih Yaitu hadits hasan yang sanadnya tidak sepi dari seorang mastur tak nyata keahliannya, bukan pelupa yang banyak salahnya, tidak tampak adanya sebab yang menjadikan fasik dan matan haditsnya adalah baik berdasarkan periwayatan yang semisal dan semakna dari sesuatu segi yang lain. Ringkasnya, hadits hasan li ghairihi ini asalnya adalah hadits dhaif lemah, namun karena ada ada mu'adhdhid, maka derajatnya naik sedikit menjadi hasan li ghairihi. Andaikata tidak ada 'Adhid, maka kedudukannya dhaif. Di antara contoh hadits ini adalah hadits tentang Nabi SAW membolehkan wanita menerima mahar berupa sepasang sandal "Apakah kamu rela menyerahkan diri dan hartamu dengan hanya sepasang sandal ini?" Perempuan itu menjawab, "Ya." Maka nabi SAW pun membolehkannya. Hadits ini asalnya dhaif lemah, karena diriwayatkan oleh Turmuzy dari 'Ashim bin Ubaidillah dari Abdullah bin Amr. As-Suyuti mengatakan bahwa 'Ashim ini dhaif lantaran lemah hafalannya. Namun karena ada jalur lain yang lebih kuat, maka posisi hadits ini menjadi hasan li ghairihi. Kedudukan Hadits Hasan adalah berdasarkan tinggi rendahnya ketsiqahan dan keadilan para rawinya, yang paling tinggi kedudukannya ialah yang bersanad ahsanu’l-asanid. Hadits Shahih dan Hadits Hasan ini diterima oleh para ulama untuk menetapkan hukum Hadits Makbul. Hadits Hasan Naik Derajat Menjadi Shahih Bila sebuah hadits hasan li dzatihi diriwayatkan lagi dari jalan yang lain yang kuat keadaannya, naiklah dia dari derajat hasan li dzatihi kepada derajat shahih. Karena kekurangan yang terdapat pada sanad pertama, yaitu kurang kuat hafalan perawinya telah hilang dengan ada sanad yang lain yang lebih kuat, atau dengan ada beberapa sanad lain. * * * 2. Hadits Mardud Tertolak Setelah kita bicara hadits maqbul yang di dalamnya adahadits shahih dan hasan, sekarang kita bicara tentang kelompok yang kedua, yaitu hadits yang tertolak. Hadits yang tertolak adalah hadits yang dhaif dan juga hadits palsu. Sebenarnya hadits palsu bukan termasuk hadits, hanya sebagian orang yang bodoh dan awam yang memasukkannya ke dalam hadits. Sedangkan hadits dhaif memang benar sebuah hadits, hanya saja karena satu sebab tertentu, hadis dhaif menjadi tertolak untuk dijadikan landasan aqidah dan syariah. Definisi Hadits Dhaif yaitu hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits Shahih atau hadits Hasan. Hadits Dhaif merupakan hadits Mardud yaitu hadits yang tidak diterima oleh para ulama hadits untuk dijadikan dasar hukum. Penyebab Tertolak Ada beberapa alasan yang menyebabkan tertolaknya Hadits Dhaif, yaitu Adanya Kekurangan pada Perawinya Baik tentang keadilan maupun hafalannya, misalnya karena Dusta hadits maudlu Tertuduh dusta hadits matruk Fasik, yaitu banyak salah lengah dalam menghafal Banyak waham prasangka disebut hadits mu’allal Menyalahi riwayat orang kepercayaan Tidak diketahui identitasnya hadits Mubham Penganut Bid’ah hadits mardud Tidak baik hafalannya hadits syadz dan mukhtalith Karena Sanadnya Tidak Bersambung Kalau yang digugurkan sanad pertama disebut hadits mu’allaq Kalau yang digugurkan sanad terakhir sahabat disebut hadits mursal Kalau yang digugurkan itu dua orang rawi atau lebih berturut-turut disebut hadits mu’dlal Jika tidak berturut-turut disebut hadits munqathi’ 2. 2. 3. Karena Matan Isi Teks Yang Bermasalah Selain karena dua hal di atas, kedhaifan suatu hadits bisa juga terjadi karena kelemahan pada matan. Hadits Dhaif yang disebabkan suatu sifat pada matan ialah hadits Mauquf dan Maqthu’ Oleh karenanya para ulama melarang menyampaikan hadits dhaif tanpa menjelaskan sanadnya. Adapun kalau dengan sanadnya, mereka tidak mengingkarinya Hukum Mengamalkan Hadits Dhaif Segenap ulama sepakat bahwa hadits yang lemah sanadnya dhaif untuk masalah aqidah dan hukum halal dan haram adalah terlarang. Demikian juga dengan hukum jual beli, hukum akad nikah, hukum thalaq dan lain-lain. Tetapi mereka berselisih faham tentang mempergunakan hadits dha'if untuk menerangkan keutamaan amal, yang sering diistilahkan dengan fadhailul a'mal, yaitu untuk targhib atau memberi semangat menggembirakan pelakunya atau tarhib menakutkan pelanggarnya. Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim menetapkan bahwa bila hadits dha'if tidak bisa digunakan meski hanya untuk masalah keutamaan amal. Demikian juga para pengikut Daud Azh-Zhahiri serta Abu Bakar Ibnul Arabi Al-Maliki. Tidak boleh siapapun dengan tujuan apapun menyandarkan suatu hal kepada Rasulullah SAW, sementara derajat periwayatannya lemah. Ketegasan sikap kalangan ini berangkat dari karakter dan peran mereka sebagai orang-orang yang berkonsentrasi pada keshahihan suatu hadits. Imam Al-Bukhari dan Muslim memang menjadi maskot masalah keshahihan suatu riwayat hadits. Kitab shahih karya mereka masing-masing adalah kitab tershahih kedua dan ketiga di permukaan muka bumi setelah Al-Quran Al-Kariem. Senjata utama mereka yang paling sering dinampakkan adalah hadits dari Rasulullah SAW Siapa yang menceritakan sesuatu hal dari padaku padahal dia tahu bahwa hadits itu haditsku, maka orang itu salah seorang pendusta. HR Bukhari Muslim Sedangkan Al-Imam An-Nawawi rahimahulah di dalam kitab Al-Adzkar mengatakan bahwa para ulama hadits dan para fuqaha membolehkan kita mempergunakan hadits yang dhaif untuk memberikan targhib atau tarhib dalam beramal, selama hadits itu belum sampai kepada derajat maudhu' palsu. Namun pernyataan beliau ini seringkali dipahami secara salah kaprah. Banyak yang menyangka bahwa maksud pernyataan Imam An-Nawawi itu membolehkan kita memakai hadits dhaif untuk menetapkan suatu amal yang hukumnya sunnah. Padahal yang benar adalah masalah keutamaan suatu amal ibadah. Jadi kita tetap tidak boleh menetapkan sebuah ibadah yang bersifat sunnah hanya dengan menggunakan hadits yang dhaif, melainkan kita boleh menggunakan hadits dha'if untuk menggambarkan bahwa suatu amal itu berpahala besar. Sedangkan setiap amal sunnah, tetap harus didasari dengan hadits yang kuat. Lagi pula, kalau pun sebuah hadits itu boleh digunakan untuk memberi semangat dalam beramal, maka ada beberapa syarat yang juga harus terpenuhi, antara lain Derajat kelemahan hadits itu tidak terlalu parah. Perawi yang telah dicap sebagai pendusta, atau tertuduh sebagai pendusta atau yang terlalu sering keliru, maka haditsnya tidak bisa dipakai. Sebab derajat haditsnya sudah sangat parah kelemahannya. Perbuatan amal itu masih termasuk di bawah suatu dasar yang umum. Sedangkan sebuah amal yang tidak punya dasar sama sekali tidak boleh dilakkan hanya berdasarkan hadits yang lemah. Ketika seseorang mengamalkan sebuah amalan yang disemangati dengan hadits lemah, tidak boleh diyakini bahwa semangat itu datangnya dari nabi SAW. Agar kita terhindar dari menyandarkan suatu hal kepada Rasulullah SAW sementara beliau tidak pernah menyatakan hal itu. Demikian sekelumit informasi singkat tentang pembagian hadits, dilihat dari sudut apakah hadits itu bisa diterima ataukah hadits itu tertolak. Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Ahmad Sarwat, LcBaca Lainnya Haruskah Memasang Hijab Pada Pesta Walimah? 10 January 2008, 2354 Pernikahan > Walimah viewsShahihkah Semua Hadits Tentang Akhir Zaman 10 January 2008, 1616 Hadits > Status Hadits viewsKeadaan Ummat Islam Indonesia Saat Ini... 10 January 2008, 0557 Umum > Umat Islam viewsPantaskah Menyebut Allah dengan ENGKAU atau NYA? 9 January 2008, 0337 Al-Quran > Hukum viewsBingung Ikut Liqo' 8 January 2008, 0410 Dakwah > Belajar agama viewsManusia Luar Angkasa 4 January 2008, 2339 Kontemporer > Misteri viewsSisipan Dalam Al-Qur'an 3 January 2008, 2233 Al-Quran > Qiraat viewsQuran Tidak Mewajibkan Kerudung Hanya Menganjurkan? 2 January 2008, 0800 Al-Quran > Tafsir viewsPembagian Harta Waris 31 December 2007, 2344 Mawaris > Bagi waris berbagai keadaan viewsBulan Terbelah 31 December 2007, 2119 Al-Quran > Tafsir viewsPelajaran dari Perjalanan Nabi Musa dan Khidir 30 December 2007, 2213 Umum > Tasawuf viewsKelemahan Hukum Islam? 28 December 2007, 2342 Jinayat > Hukum Islam viewsWali Songo, Apakah Memang Ada atau Hanya Khayalan? 27 December 2007, 2314 Umum > Sejarah viewsImam 4 Madhzab Apakah Setingkat Wali? 27 December 2007, 1517 Ushul Fiqih > Mazhab viewsBenarkah Usia Umat Islam Hanya 1500 Tahun 25 December 2007, 2344 Hadits > Status Hadits viewsAmanah Itu Hadir di 666 25 December 2007, 0242 Aqidah > Ghaib viewsShalat 'Iedul Adha di Hari yang Tidak Kita Yakini, Bolehkah? 22 December 2007, 2344 Shalat > Shalat Hari Raya viewsSalah Satu Rukun Islam Tidak Terlaksana, Masihkah Sah KeIslaman Kita? 22 December 2007, 2302 Umum > Hukum viewsMenghadapi Masalah Narkoba 22 December 2007, 0822 Kontemporer > Fenomena sosial viewsMencela Agama Orang Lain 21 December 2007, 2229 Aqidah > Agama lain viewsTOTAL tanya-jawab 49,905,729 views
- Чуታ ኩохዚψан
- ዩոсቮмο ሺλա
- Ոзиրув θሓኖዕዑγе
- Ղаጷутвыж гиቾеպ քуռը թ
- ፆтетр оклኝскωц ዘቧቤςι
- Βуцሞфታցаմ ипеβաслуву
Tahukah Antum Umma’ Selleng ! Hadits yang Tertolak karena Gugur dari Sanadnya Yang dimaksud dengan hadits yang tertolak karena gugur dari sanadnya adalah; terputusnya rantai sanad dengan gugurnya seorang perawi atau lebih baik disengaja oleh sebagian perawi atau tidak disengaja, gugurnya tersebut baik secara transparan maupun tersembunyi. Yang masuk kategori hadits yang tertolak karena gugurnya perawi dari sanad adalah sebagai berikut Mu’allaq Hadits yang sanadnya terbuang dari awal sanadnya, satu orang rawi atau lebih secara berturut-turut, bahkan sekalipun terbuang semuanya. Gambarannya adalah semua sanad dibuang kemudian dikatakan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda. Mursal Hadits yang sanadnya terbuang dari akhir sanadnya, sebelum tabi’in. Gambarannya, adalah apabila seorang tabi’in mengatakan, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, …” atau “Adalah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melakukan ini dan itu …”. Mu’dlal Hadits yang sanadnya ada dua orang rawi atau lebih yang gugur secara berturut-turut. Sedangkan I’dhal sendiri adalah terputusnya rangkaian sanad hadits, dua orang atau lebih secara berurutan. Mungqati’ Hadits yang di tengah sanadnya terdapat perawi yang gugur, satu orang atau lebih, secara tidak berurutan. Mudallas Tadlis Menyembunyikan cela cacat yang terdapat di dalam sanad hadits, dan membaguskannya secara zahir. Tadlis at-Taswiyah ialah, seorang rawi meriwayatkan suatu hadits dari seorang rawi yang dha’if, yang menjadi perantara antara dua orang rawi yang tsiqah, di mana kedua orang yang tsiqah tersebut pernah bertemu karena sempat hidup semasa, kemudian rawi yang melakukan tadlis disebut mudallis membuang atau menggugurkan rawi yang dha’if tersebut, dan menjadikan sanad hadits tersebut seakan antara dua orang yang tsiqah dan bersambung. Ini adalah jenis tadlis yang paling buruk. Mu’an’an perkataan seorang perawi “fulan dari fulan” An’anah adalah Menyampaikan hadits kepada rawi lain dengan lafazh عن dari yang mengisyaratkan bahwa dia tidak mendengar langsung dari syaikhnya. Ini menjadi illat suatu sanad hadits apabila digunakan oleh seorang rawi yang mudallis. Mu`annan perkataan seorang perawi “telah menceritakan kepada kami fulan, bahwa fulan berkata” Hadits yang tertolak karena terindikasi cacat atau tertuduh pada diri seorang rawi Adapun hadits yang tertolak disebabkan adanya indikasi cacat atau tertuduh pada diri seorang rawi ada ada sepuluh macam, lima berkaitan dengan al adalah dan lima berkaitan dengan hafalan. Adapun yang berkaitan dengan al adalah sebagai berikut Dusta / berbohong Tertuduh berbohong Fasik Bid’ah Jahalah tidak diketahui Sedangkan yang berkaitan dengan hafalan sebagai berikut Kesalahan yang parah Buruk hafalan Lalai Banyak terjadi kerancauan hafalan Menyelisihi orang-orang yang tsiqah Akibat sebab-sebab diatas berkolerasi kepada kedudukan hadits. Disini kami coba untuk mengurutkannya satu persatu. AL MAUDHU’ Hadits maudhu’/palsu Hadits maudhu’ ialah Hadits yang dipalsukan terhadap Nabi. Hukumnya tertolak dan tidak boleh disebutkan kecuali disertakan keterangan kemaudhu’annya sebagai larangan darinya. Metode membongkar kepalsuan hadits dengan cara sebagai berikut Pengakuan orang yang membuat hadits maudhu’. Bertentangan dengan akal, seperti mengandung dua hal yang saling bertentangan dalam hal bersamaan,menetapkan keberadaan yang mustahil atau menghilangkan keberadaan yang wajib, dll. Bertentangan dengan pengetahuan agama yang sudah pasti, seperti menggugurkan rukun dari rukun-rukun Islam atau menghalalkan riba’, membatasi waktu terjadinya kiamat atau adanya nabi setelah nabi Muhammad. Golongan pembuat hadits palsu Orang-orang yang termasuk pembuat hadits palsu sangat banyak dan tokohnya yang masyhur adalah Ishaq bin Najiih al Malathi. Ma’mun bin Ahmad al Harawi. Muhammad bin as Saaib al Kalbii. Al Mughirah bin Said al Kufi Muqathil bin Abi Sulaiman. Al Waqidi Ibnu Abi Yahya. Sedangkan golongan pencipta hadits palsu diantaranya Az-Zanadiqah kaum zindik ialah orang-orang yang berusaha merusak aqidah kaum muslimin, memberangus Islam dan merubah hukum-hukumnya. Seperti Muhammad bin Said al Mashlub yang dibunuh oleh Abu Ja’far al Manshur ia memalsukan hadits atas nama Anas secara marfu’. Aku adalah penutup para nabi, tidak ada nabi setelah aku, kecuali kalau Allah berkehendak. Dan seperti Abdul Karim bin Abu al Aujaa’ yang dibunuh oleh salah seorang amir Abasyiah di Bashrah dan dia berkata ketika hendak dibunuh Aku telah palsukan kepadamu 4000 hadits, aku haramkan yang halal dan aku halalkan yang haram. Dan ada yang berkata bahwa kaum zindik telah membuat hadits palsu terhadap Rasulullah sebanyak hadits. Al-Mutazallif pencari muka/penjilat dihadapan para penguasa dan umara seperti Ghiyats bin Ibrahim, dia pernah datang kepada al Mahdi yang sedang bermain dengan burung dara lalu ia menceritan kepadanya hadits Amirul Mu’minin ia bawakan sanadnya sekaligus ia palsukan hadits terhadap nabi bahwasanya beliau bersabda “Tidak ada perlombaan atau permainan kecuali pada telapak kaki onta atau tombak atau telapak kaki kuda atau sayap burung dara” lalu al Mahdi berkata Aku telah membebani dia atas itu membuat Ghiyat bin Ibrahim berbuat dusta kepadaku untuk mencari muka. Pent. Kemudian dia al Mahdi menaruh burung dara tersebut dan menyuruh menyembelihnya. Al-Mutazallif dihadapan masyarakat dengan menyebutkan cerita-cerita yang aneh untuk targhib atau tarhib atau mencari harta atau kemuliaan jah seperti para pencerita hikayat yang berbicara dimasjid-masjid dan tempat-tempat keramaian dengan cerita-cerita yang memberikan kedahsyatan dari kisah-kisah yang aneh. Orang-orang yang terlalu bersemangat terhadap agama. Mereka membuat hadits-hadits palsu tentang keutamaan-keutamaan Islam dan sarana yang menuju kepadanya dan hadits-hadits juhud terhadap dunia dengan tujuan agar manusia peduli terhadap agama dan juhud terhadap dunia. Seperti Abu Ashamah Nuh bin Abi Maryam Qadhi Marwi, ia membuat hadits-hadits palsu tentang keutamaan surat-surat al quran, surat demi surat dan ia berkata aku melihat manusia menjauhkan al quran dan sibuk terhadap fiqh Abu Hanifah dan Maghaazi bin Ishak oleh karena itu aku buat hadits palsu itu keutamaan hadits palsu. Orang-orang yang ta’ashub terhadap mazhab atau jalan atau negeri atau yang diikuti imam atau kabilah mereka membuat hadits-hadits palsu tentang keutamaan yang mereka ta’asubkan dan pujian terhadapnya. Seperti Maisarah bin Abdu Rabah yang mengaku telah membuat hadits palsu terhadap nabi r sebanyak 70 hadits tentang keutamaan Ali bin Abu Thalib. Al Matruk Hadits yang di dalam sanadnya terdapat rawi yang tertuduh sebagai pendusta. Al Munkar Hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang dha’if dan riwayatnya bertentangan de-ngan riwayat para rawi yang tsiqah. Perbedaan antara Syadz dengan munkar adalah; syadz diriwayatkan oleh seorang perawi yang maqbul sedangkan munkar diriwayatkan oleh seorang perawi dla’if. Al Mu’allal Hadits yang ditemukan illat di dalamnya yang membuat cacat keshahihan hadits tersebut, meskipun pada dzahirnya terlihat selamat. Al Mudraj Hadits yang di dalamnya terdapat tambahan yang bukan darinya, baik dalam matan atau sanadnya. Sementara idraj sendiri itu bermakna tambahan sisipan pada matan atau sanad hadits, yang bukan darinya. Al Maqlub mengganti satu lafadz dengan lafadz lain di dalam sanad sebuah hadits atau matannya, dengan cara mendahulukannya atau mengakhirkanya. Al Mudhtharib Hadits yang diriwayatkan dari seorang rawi atau lebih dalam berbagai versi riwayat yang berbeda-beda, yang tidak dapat ditarjih dan tidak mungkin dipertemukan antara satu de-ngan lainnya. Mudhtharib goncang. Asy Syadz Hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang pada hakikatnya kredibel, tetapi riwayatnya tersebut bertentangan dengan riwayat rawi yang lebih utama dan lebih kredibel dari diri-nya. Lawan dari syadz adalah rajih yang lebih kuat dan sering diistilahkan dengan mahfuzh terjaga. Jahalah bi arruwwah Tidak diketahui secara pasti, yang berkaitan dengan identitas dan jati diri seorang rawi. Adapun klasifikasi majhul ada tiga, yaitu Majhul al-’Adalah Tidak diketahui kredibelitasnya. Majhul al-’Ain Tidak diketahui identitasnya. Yaitu rawi yang tidak dikenal menuntut ilmu dan tidak dikenal oleh para ulama, bahkan termasuk di dalamnya adalah perawi yang tidak dikenal memiliki hadits kecuali dari seorang perawi. Majhul al-Hal Tidak diketahui jati dirinya. Bid’ah mengada-adakan suatu perkara yang tidak ada asalnya dalam syariat. Adapun yang memiliki bukti dari syariat maka bukan bidah walaupun bisa dikatakan bidah secara bahasa. Bid’ah di golongkan menjadi dua golongan; 1. Bid’ah yang membuat kafir 2. Bid’ah yang membuat fasik Buruk hafalan sisi salahnya lebih kuat ketimbang sisi benarnya dalam meriwayatkan sebuah hadits.
Haditspalsu artinya menisbatkan (menyandarkan) suatu perkataan, berbuatan, pengakuan atau sifat kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. P adahal itu tidak dikatakan, tidak dilakukan, bukan merupakan persetujuan dan bukan merupakan sifat Nabi. Jadi, menisbatkan sesuatu kepada Nabi yang bukan merupakan darinya adalah hadits palsu.
AtTurmudzi dan, Thabrani) Pelajaran yang terdapat di dalam hadist. 1. Bulan Ramadhan adalah bulan orang berpuasa, sedangkan orang yang berpuasa doanya mustajab. 2. Allah Subhanahu Wata'ala sendiri telah menganjurkan orang-orang yang sedang berpuasa untuk banyak berdo'a kepada-Nya karena Dia sangat dekat dengan para hamba-Nya yang sedangFoto MGROL100. Hadits palsu tidak mempunyai sandaran yang kuat dan dinisbatkan ke Rasulullah. REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Dalam studi hadits, keberadaan hadits palsu (maudhu) sangat diwanti-wanti para ulama. Hadits kategori ini tidak bisa dijadikan landasan hukum. Statusnya tertolak sebab menisbatkan Nabi Muhammad SAW dalam kepalsuan.